Laen ladang laen belalang, Laen kampung, laen juga adat warganye

Monday, August 22, 2005

NONTON WAYANG KULIT

Dalam rangka memperingati HUT RI ke-60, pengelola Pusat Perkampungan Betawi Setu Babakan menyelenggarakan berbagai acara perlombaan dan pertunjukan tradisional bergaya Betawi. Katanya sih acara-acaranya dimulai sejak tanggal 18 Agustus 2005 sampe hari Ahad 21 Agustus 2005. Selama empat hari itu dilaksanakan berbagai perlombaan seperti lomba perahu, lomba bikin lampion, lomba nari, marawis, panjat pinang dan sebagainya. Selain itu digelar berbagai perunjukan tradisional Betawi semacam lenong, tari topeng, tandijor, rebana biang, wayang kulit betawi dan lain-lain. Dan acaranya juga diiisi beberapa seniman betawi yang udah kondang semacam Haji Bolot, Malih, Mpok Nori, Nirin Kumpul dll.

Nah, malem Ahad kemaren, ane nonton pertunjukan Wayang Kulit Betawi yang pada malem itu dibawakan oleh Sanggar Marga Juwita pimpinan Ki Dalang Surya Bonang dari Jagakarsa Jakarta Selatan. Ki Surya Bonang itu termasuk seniman Betawi yang langka, karena di Jakarta ini mungkin hanya beliau Dalang Betawi yang masih survive sampai sekarang. Kebetulan rumah beliau tak jauh dari rumah ane. Wayang Kulit Betawi termasuk salah satu kesenian Indonesia yang sudah langka.Bahkan ada warga Jakarta yang nggak tahu bahwa dalam kesenian Betawi ternyata juga ada wayang kulit. Wayang kulit versi Betawi sebenarnya nggak jauh beda dengan wayang kulit versi Jawa atau Sunda. Ceritanya mengambil lakon dari cerita-cerita Mahabharata atau cerita versi karangan namun tetap mengambil setting yang sama.

Ada beberapa hal yang membedakannya dan menjadi ciri khas wayang kulit betawi dalam setiap pertunjukan. Perbedaan pertama yang paling mencolok tentu saja bahasa yang digunakan. Sebenarnya wayang kulit Betawi tidak murni memakai bahasa Betawi dari awal sampai akhir. Bahasa yang digunakan sang Dalang bisa dibilang campuran antara bahasa Betawi, Sunda dan Jawa. Bahkan sesekali sang Dalang menggunakana bahasa Betawi kuno yang saya sendiri kurang memahaminya. Perbedaan kedua ada pada Sinden/sintren yaitu orang (biasanya wanita) yang menyanyikan tembang atau lagu-lagu pengiring. Pada wayang kulit Betawi, tembang yang dibawakan Sinden adalah lagu-lagu berbahasa sunda. Dan biasanya sebelum pertunjukan wayang dimulai, Sinden menerima permintaan lagu-lagu dari penonton, tentu saja dengan saweran uang. Tapi saat pertunjukkan wayang dimulai, peranan si Sinden diminimalisir. Perannya lebih digantikan oleh alat-alat musik terutama trumpet. Perbedaan selanjutnya adalah alat musik yang yang mengiringi pertunjukan tersebut tidaklah sebanyak atau selengkap wayang kulit Jawa atau wayang golek Sunda. Jenisnya sih sama saja, namun ada beberapa alat yang dihilangkan. Biasanya alat musik tersebut terdiri dari kendang, gong, saron, kempul, kedemung, kromong, rebab, kecrek, trompet, dan kromong.

Yang umum kentara adalah isi cerita yang sarat dengan humor atau banyolan gaya Betawi yang begitu kental. Kalau pada wayang kulit Jawa, adegan humor atau banyolan biasanya baru hadir saat sang Dalang menampilkan punakawan atau karakter komedian yang lain. Tapi pada wayang kulit Betawi, kadang sepanjang cerita diselingi humor atau banyolan, walaupun adegan tengah menceritakan dialog di antara ksatria pandawa.

Wayang kulit betawi adalah kesenian tradisional masyarakat Betawi pinggiran. Biasanya yang menanggapnya adalah masyarakat betawi yang tinggal dekat dengan daerah perbatasan Jawa Barat seperti misalnya Jagakarsa, Sawangan, Tanggerang, Bambu Apus,Ciracas dan sebagainya. Hal itulah yang menyebabkan kesenian tersebut juga kental dipengaruhi oleh budaya Sunda. Konon kesenian ini pada awalnya dibawa oleh para prajurit Mataram pimpinan Sultan Agung, ketika menyerang VOC di Batavia pada zaman J.P Coen berkuasa sekitar abad ke-17.

Saat ini kesenian Wayang Kulit Betawi merupakan kesenian tradisional yang sudah langka. Mungkin karena dalang-dalangnya yang semakin sedikit dan banyak yang sudah uzur serta animo masyarakat yang tak lagi tinggi. Padahal pada era 70 sampai 80an, Kesenian Wayang Kulit Betawi pernah mencapai masa keemasannya. Sering sekali pertunjukan Wayang Kulit digelar di kampung-kampung di Jakarta terutama jika ada warga yang merayakan pesta perkawinan anaknya. Bahkan dahulu pernah diadakan Festival Wayang Kulit Betawi yang digelar Dinas Kebudayaan DKI Jakarta setiap tahun. Selama itu pula, publikasi Wayang Betawi sangat gencar. Bahkan TVRI berkali-kali memberikan kesempatan kepada para dalang Betawi untuk tampil.

1 Comments:

Blogger Unknown said...

Kalo boleh tau alamatnya ki bonang dimana ya? Saya mau coba kesana buat riset kalo jadi sih pengen bikin dokumenter buat tugas kuliah.

3:28 AM  

Post a Comment

<< Home

k a m p u n g p i n g g i r a n
Copyright control : DinRabin-2005 # contact person : abyadh2003@yahoo.com #