Laen ladang laen belalang, Laen kampung, laen juga adat warganye

Thursday, August 25, 2005

THE HISTORY OF DEPOK CITY

Hari Kamis kemaren ane jalan-jalan ke ITC Depok yang baru dibuka tanggal 24 Agustus 2005 yang lalu. Ini adalah pusat perbelanjaan teranyar di kota Depok yang telah buka di antara tiga pusat perbelanjaan lain yang sedang dibangun. Ada tiga pusat perbelanjaan di kota Depok yang sedang dibangun dan salah satunya adalah ITC Depok. Dibukanya mall baru ini ternyata sangat menarik minat masyarakat untuk mengunjunginya walaupun di Depok telah berdiri mall-mall megah lain yang tak kalah lengkap.

Depok sekarang yang jadi kotamadya sejak 1999, penduduknya melonjak lebih dari 10 kali lipat. Berpenduduk lebih dari 1.335.734 jiwa, ia sudah dikatagorikan sebagai kota besar. Laju penduduk masih terus melejit. Kini belasan perusahan real estat dengan penuh gairah tengah membangun ribuan rumah dan beberapa pusat perbelanjaan di Depok. Hingga hampir tidak tersisa lagi lahan persawahan dan perkebunan Bahkan sejumlah setu ikut menciut, tergusur dan menghilang samasekali menjelma menjadi hutan beton. . Tak heran jika sang penguasa lama Depok bersikukuh mempertahankan kedudukannya walaupun dia telah jelas-jelas kalah dalam Pilkada kemarin. Padahal ketika Presiden Soeharto meresmikan Perumnas tahun 1976, penduduknya tidak lebih 100 ribu jiwa.

Kala itu, Depok hanya merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor. Suasananya juga jauh dari keramaian dan tidak sepadat sekarang. Kalau Saudara masuk ke kawasan Universitas Indonesia Depok, hampir seperti itulah kondisi Depok saat itu. Banyak pepohonan, perkebunan, sungai, setu dan rawa-2. Keramaian biasanya ada tak jauh dari jalan Margonda Raya atau stasiun-stasiun kereta. Babeh ane punya perkebunan di daerah Citayam Jawa Barat dan sejak kecil saya sering ikut beliau ke sana. Kadang kami mampir dulu di pasar Depok sebelum menuju ke Citayam. Jadi walau tinggal di Jakarta, saya sudah akrab dengan suasana Depok, apalagi sekarang kerja di Depok pula (bete banget kan!!)

Sejarah Depok tak bisa mengabaikan Cornelis Chastelein. Dialah orang Belanda yang membuat daerah Depok memiliki kekhasan tersendiri. Cornelis Chastelein adalah lelaki keturunan Perancis-Belanda. Ayahnya, Anthonie Chastelein, adalah seorang Perancis yang menyeberang ke Belanda dan bekerja di perusahaan milik Belanda, VOC (Verenige Oost Indische Compagnie). Ibunya bernama Maria Cruidenar, putri seorang walikota Dordtrecht. Anak bungsu ini, kemudian juga mengikuti jejak ayahnya, bekerja di VOC. Ia berangkat ke Indonesia dengan menumpang kapal uap. Setelah berlayar selama tujuh bulan, melalui Tanjung Harapan, ujung selatan Benua Afrika, ia tiba di Batavia (Betawi).
Setelah beberapa bulan tinggal di Batavia, ia mengawini seorang gadis Belanda, Catharina van Vaalberg. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama sama dengan ayahnya, Anthonie Chastelein.


Cornelis Chastelein pemuda yang rajin. Tak aneh kalau kariernya cepat menanjak. Ia juga seorang yang hemat. Ketika terjadi peralihan jabatan dalam tubuh VOC, dimana jenderal Willem van Outhorn menggantikan Jenderal Johanes Camphuys, Chastelein akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Ia merasa tak cocok lagi bekerja di situ.
Chastelein kemudian menjadi seorang wirasastawan. Ia mencurahkan perhatiannya pada sektor pertanian. Pada akhir abad 17, ia membeli tanah di kawasan Depok, Jawa barat. Untuk mengerjakan tanah yang luasnya ratusan hektar itu, ia mendatangkan pekerja-pekerja dari Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Betawi.

Sebagai tuan tanah partikelir, Chastelein berhak mengurus tanahnya dan memerintah sesuai garis kebijaksanaan yang ditetapkannya sendiri, tanpa campur tangan pihak luar. Dan ia memang menyiapkan pemerintahannya itu.Rumah sakit Harapan, yang terletak di jalam Pemuda, dahulu adalah gedung pemerintahannya. Kepada warganya, Chastelein mengenakan cukai setiap kali panen padi. Besarnya 20 persen dari hasil yang diperoleh.
Chastelein berhasil membangun Depok. Sampai awal abad 20, suasana Depok memang asri. Iklim sejuk, dengan hamparan sawah disana-sini. Pohon bambu merumpun, dan jalan-jalan berbatu nampak bersih. Selama di Depok, Chastelein juga mengawini dua wanita pribumi. Dari salah seorang istrinya lahirlah Maria Chastelein, yang diakuinya dihadapan notaris. Anaknya yang lain diberi nama Catharina van Batavia.

Ketika 1714 Cornelis Chastelein, petinggi VOC dan tuan tanah Depok meninggal dunia dengan meninggalkan wasiat; menghibahkan tanah Depok seluas 1.224 hektar pada para budaknya setelah lebih dulu mereka menukar agama jadi Kristen Protestan. Keturunan para budak inilah yang dapat kita jumpai di Depok Lama dijuluki Belanda Depok. Julukan ini tidak menyenangkan mereka, karena dianggap antek Belanda. Tapi mereka tidak tersinggung disebut keturunan budak, karena kenyataan demikian.

Lalu ada sejarawan Belanda menulis bahwa nama Depok berasal pada masa Cornelis Chastelein. H Nawawi Napih, penduduk Depok yang sejak 1991 mengadakan penelitian membantah Depok baru dikenal sejak masa Cornelis Chastelein membangun perkebunan di sini. Pendapatnya yang sama dikemukakan H Baharuddin Ibrahim dkk dalam buku 'Meluruskan Sejarah Depok'. Karena sebelum Chastelein membeli tanah Depok, nama kota ini telah ada. Mereka mengutip cerita Abraham van Riebeeck ketika pada 1703, 1704, dan 1709 selaku inspektur jenderal VOC mengadakan ekspedisi menelusuri sungai Ciliwung. Melalui rute: Benteng (Batavia) - Cililitan - Tanjung (Tanjung Barat) - Seringsing (Serengseng) - Pondok Cina - DEPOK - Pondok Pucung (Terong). Tapi ada beda pendapat tentang Sejarah Depok yang disusun H Nawawi Napih dan H Baharuddin Ibrahim.

Napih, yang mendapat keterangan berdasarkan cerita MW Bakas, salah seorang keturunan asli Depok yang mengatakan, waktu perang antara Pajajaran dengan Banten-Cirebon (Islam) tentara Pajajaran membangun padepokan untuk melatih para prajuritnya dalam mempertahankan kerajaan. Padepokan ini dibangun dekat Sungai Ciliwung. Terletak antara pusat kerajaan Pajajaran (Bogor) dan Sunda Kelapa (Jakarta). Perkembangan selanjutnya padepokan ini disebut Depok sesuai lidah melayu.

Dikutip dari berbagai sumber

2 Comments:

Blogger Lili said...

Wa'alaikumussalaam, Jazzakillah sudah mampir ke blog Ummi.
he..he..namanya juga MUMI dari 3 abad lalu, yah serem dong.

Well, tiap hari tuh promo pembukaan ITC depok di Radio terus2an.
Ummi dengarnya miris, dekat kantor walikota dan station bus Depok, duh apa gak tambah macet??

kayaknya kalau untuk pengusaha property PEMDA mah hauy ajah approved pembebasan tanahnya, lah Tata Kota gak diperhatikan...itulah arti Kemerdekaan yg semu, alias dikuasai org2 yg memang punya kuasa walaupun kekuasaannya sesaat, kapan yah sadarnya kalau kuasa itu hanya milik Allah semata?

Thanks utk info ttg kota Depoknya. hidup depok

2:11 AM  
Blogger Admin said...

Ane lahir di Jakarta Pusat, 50 meter dari Jalan Cornelis (sekarang Jalan Gunung Sahari IV). Di jalan Cornelis itulah dulu Cornelis tinggal sebelum membeli Weltervreden dan Depok. Sampai sekarang msh bs dijumpai orang2 dari Ambon, keturunan pejuang Ambon yang dipekerjakan oleh Cornelis sebagai budaknya.

Pada tahun 90-an, RM Jonathans pernah menulis pada sebuah buku, dan dikatakan bahwa nama Depok sudah ada sebelum Cornelis membelinya pada 1896. Bataragema@gmail.com

10:18 PM  

Post a Comment

<< Home

k a m p u n g p i n g g i r a n
Copyright control : DinRabin-2005 # contact person : abyadh2003@yahoo.com #